2.11.10

Ini Tanah (ada) Air(nya), Bukan Cuma Tanah

terinpirasi karena diminta mewawancarai seorang profesor yang juga menjabat posisi Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (Prof DR Suharsono). setelah menunggu sejak semalam dan baru berhasil dihubungi tadi pagi (Selasa 2/11). walaupun terkesan buru-buru (karena dikejar si "garis mati") tapi ada sejumlah hal baru yang selama ini mungkin tak mendapat porsi perhatian besar di dalam diri saya sendiri. ya, ini negeri kaya akan air karena (menurut wikipedia) luas daratan Indonesia adalah 1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km². 

tapi, sudah seberapa besar sih perhatian semua warga Indonesia kepada lautan luasnya? seberapa yang sudah dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyatnya? apa sudah cukup melalui berbagai kegiatan bertajuk "Sail" ini dan itu? atau sudah merasa puas dengan sering menyebut luas lautan atau jumlah keanekaragaman "penduduk" laut kita?

Prof Suharsono pun mengakui bahwa orientasi pemerintah kini masih cenderung ke daratan, sehingga potensi luar biasa di laut belum tereksplorasi dengan baik. untuk itu harus ada pencerahan, penyadaran, perubahan pola pikir bahwa laut juga bisa mensejahterakan rakyat Indonesia. 

hey, apa kalian merasa familiar dengan kalimat ini, "makan ikan yang banyak, supaya pinter."

kalau saya sih sudah mendapatkan satu bukti nyata (bukan tentang diri saya sendiri sih). salah satu kerabat saya rajin makan ikan, bukan cuma rajin tapi doyan apalagi yang namanya ikan teri, makanya dia pinter :)
eits, saya juga suka makan ikan lho! tapi sebisanya jangan yang banyak duri hehe tapi untuk urusan pinter-pinteran, biar Tuhan yang menilai ;)

dulu saya sering bertanya-tanya, apa korelasinya sering makan ikan dan jadi pintar. tapi, kebanyakan sudah terjawab melalui pelajaran yang diterima waktu sekolah. 

bisa dilihat juga contoh lain, yakni orang Jepang yang (katanya) begitu gemar sama ikan-ikanan dan terbukti begitu banyak manfaatnya. bukan cuma orang-orangnya yang jadi pinter karena suka makan ikan (apalagi sushi), tapi juga berdampak pada perekonomian mereka termasuk di sektor pariwisata. 


kata Prof Suharsono, itulah bedanya Indonesia yang berada di wilayah tropis dengan negara-negara di wilayah subtropis seperti Jepang. kalau Indonesia, biota lautnya begitu beragam, tapi volume per spesiesnya tidak besar. itu berbanding terbalik dengan wilayah subtropis, ragamnya lebih sedikit tapi volumenya besar. jadi, penanganan atau pengelolaannya pun nggak bisa disamakan. kalau disamakan, lama-lama punya kita bisa habis tak bersisa.

makanya, langkah untuk mendorong pariwisata di bidang kelautan juga menjadi sesuatu yang baik. selain bisa menunjukkan dan memanfaatkan kekayaan laut, tapi di sisi lain kita bisa tetap menjaga lingkungannya atau tidak merusak. sayang kan kalau dengan sembarangan dan tanpa perhitungan main tangkap secara berlebihan. bisa-bisa, salah satu potensi kelautan kita punah.

tapi, gimana dengan nasib nelayan di Tanah Air? harus diperhatikan juga, ada nelayan besar dan nelayan kecil, bisa dibandingkan misalnya dari segi modal, atau caranya (sarana yang digunakan) ketika menangkap ikan. jadi, sepertinya tidak bisa langsung pukul rata bahwa semua nelayan itu mampu atau sebaliknya.

hal yang cukup menjadi perhatian dari sisi nelayan bahwa bagi yang berskala kecil, mereka sering (ya bisa dikatakan) menerima ketidakadilan. kenapa? hasil tangkapan mereka dihargai rendah, sementara ketika ikan-ikan itu sudah sampai ke tangan eksportir atau pihak ketiga maka harganya bisa meroket. 

salah satu contohnya, disebut Prof Suharsono, ikan Napoleon (hmm, sekarang saya jadi penasaran kenapa diberi nama seperti jenderal (Napoleon Bonaparte) asal Perancis itu ya?hehe. ketika ikan Napoleon dibeli dari nelayan, biasanya hanya dihargai sekitar Rp 50.000. tapi, waktu sudah masuk negara seperti Hongkong maka harga per ekornya bisa mencapaiRp 1,5 juta. 

maka itu, disparitas harga bagi nelayan juga harus menjadi perhatian. salah satu caranya, dengan membuat pabrik pengolahan ikan sendiri di dalam negeri. dengan begitu, ada nilai tambah langsung dari asalnya, serta dari sisi harga bisa lebih stabil ketimbang mengandalkan ekspor dalam bentuk mentah. bagaimana pemerintah?

namun, ada satu sumber daya hayati yang jika digarap dengan baik maka bisa menjadi andalan nelayan lokal. rumput laut (seaweed) atau gulma laut. Prof Suharsono menceritakan tentang pola pikir nelayan yang masih berorientasi pada masa panen ketimbang menanam. padahal, masih banyak lahan yang bisa digunakan untuk menanam si "tumbuhan" kaya manfaat ini (bisa dijadikan bahan makanan, pengobatan, hingga industri).

di samping itu, masa tanam rumput laut juga hanya 40 hari. jangan sampai kalah dengan Filipina karena sumber daya yang Indonesia miliki jauh lebih besar dan berpotensi. tapi, yang harus diubah kini adalah pemikiran para nelayan rumput laut agar mau ikut membudidayakannya sebelum memanen. 

di atas semua itu, yang kini harus dilakukan pemerintah adalah menyelesaikan grand strategi pengelolaan pengelolaan kelautan secara nasional. karena ada 18 sektor kelautan dan perikanan di dalam negeri yang menunggu untuk dapat dikembangkan dengan lebih baik lagi.

"Namun, permasalahan kelautan yang dihadapi di dalam negeri masih cukup kompleks. Selain grand strategi, juga diperlukan kemauan politik pemerintah karena dampaknya kepada alokasi anggaran bagi pengelolaan kelautan.  Bukan hanya pengelolaan, tapi masyarakatnya juga harus disiapkan. Oleh karena itu, perlu ditangani dengan benar," tutur Prof Suharsono. 

semua tak lain dan tak bukan karena adanya keinginan mendalam untuk membuat potensi laut menjadi lebih dipandang. jangan sekedar berdebat tentang wacana pemindahan ibukota, atau investasi kanan-kiri, atau membangun pusat perbelanjaan di sana-sini, tapi lantas lupa dengan unsur "Air" di frase "Tanah Air". yuk kita pandang, tatap lebih tajam, dan kelola bentangan cairan biru beserta isinya yang juga bagian dari kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)!


keterangan:
gambar pertama : Okinawa Churaumi Aquarium, sumber > teachenglishinasia.net
gambar kedua : ikan Napoleon (Cheilinus undulatus), sumber > wikipedia
gambar ketiga : "Seaweed Farming at Nusa Lembongan", sumber: wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar