12.11.10

Jumlah Perokok Meningkat, Komnas Tembakau Rekomendasikan Instrumen Penanggulangan

"No Smoking" sign picture, source: wikipedia

Komisi Nasional Pengendalian Tembakau merekomendasikan sejumlah instumen sebagai upaya penanggulangan masalah rokok di dalam negeri. Itu juga diusahakan agar terakomodasi dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai pengendalian tembakau.

Ketua Komnas Penegendalian Tembakau Prof Farid Anfasa Moeloek mengutarakan, permasalahan terkait produk tembakau atau rokok di dalam negeri sangat memprihatinkan. Ditemukan bahwa justru kebanyakan penggunanya berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin.


“Tapi, tujuan kami bukan untuk melarang orang merokok. Merokok boleh, tapi jangan sampai mengganggu orang yang tidak ingin merokok. Contohnya, dari iklan yang ada, jangan sampai mengganggu anak-anak yang belum bisa mengambil keputusan menjadi terpengaruh,” ujar Prof Moeloek usai bertemu Wakil Presiden Boediono di Istana Wapres, Jakarta, Jumat (12/11).

Anggota Komnas Pengendalian Tembakau Widyastuti Soerojo memaparkan, jatuhnya jumlah perokok pemula di Tanah Air cukup memprihatinkan, itu bisa dilihat khususnya di kelompok rentan. Dari tahun 2001 ke 2007, jumlah pengguna usia 5-9 tahun mengalami peningkatan empat kali lipat, dari 0,4 persen menjadi 1,9 persen.

Sedangkan, untuk usia 10-14 tahun naik dari 9,5 persen menjadi 16 persen. Sementara, jumlah perokok dari kelompok berpendapatan rendah meningkat 5,6 persen, di sisi lain untuk kelompok berpendapatan tinggu justru menurun sekitar 4 persen. Begitu juga dengan perokok dengan tingkat pendidikan rendah yang tidak tamat sekolah atau tidak sekolah meningkat 13,5 persen, sedangkan untuk yang tamat perguruan tinggi hanya naik 8,5 persen.

“Jadi, kelompok yang rentan itulah yang hendak dilindungi oleh PP terkait dengan penggunaan produk atau hasil tembakau. Itu tidak melarang sama sekali orang untuk merokok, atau untuk industri rokok, atau mematikan petani tembakau. Tidak sama sekali,” tutur Widyastuti.

Peneliti Lembaga Demograi FEUI Abdillah Ahsan mengemukakan, terdapat fakta-fakta yang cukup mengkhawatirkan terkait konsumsi rokok di dalam negeri karena peningkatannya sangat tinggi. Jika tahun 1995 hanya 27 persen orang dewasa Indonesia yang merokok maka pada 2007 sudah menjadi 34 persen.

Untuk kalangan perempuan, sambungnya, jika tahun 1995 hanya 1 persen, pada 2007 menjadi 5 persen. Sedangkan laki-laki, jumlah persentase pada 1995 ada 50 persen sudah menjadi 65 persen pada tahun 2007. Persentase itu dibandingkan dengan jumlah penduduk pada  saat yang sama.

“Jika mengaitkan antara rokok dan kemiskinan, sekitar 60 persen rumah tangga termiskin di Indonesia memiliki pengeluaran untuk rokok. Itu menimbulkan masalah karena ada dua hal. Pertama, dengan mereka merokok sudah mengorbankan pengeluaran lain,” kata Abdillah.

Kedua, pengeluaran rokok mengalahkan 23 jenis pengeluaran lain, termasuk pendidikan. Oleh karena itu direkomendasikan sejumlah hal kepada pemerintah. Dalam pertemuan dengan Wapres pihaknya menyampaikan agar bisa mulai diterapkan regulasi pengendalian konsumsi rokok di dalam negeri.

“Jadi, yang dikendalikan adalah konsumsinya karena sulit untuk menurunkan konsumsi rokok. Instrumennya bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni instrumen harga dan selain harga,” ujar Abdillah.

Instrumen harga, dikemukakan, dapat diterapkan melalui kenaikan cukai rokok. Pihaknya merekomendasikan cukai rokok bisa naik hingga 20 persen. Rencana pemerintah menaikkan menjadi 5 persen pada 2011 dinilai tidak cukup untuk mengendalikan konsumsi rokok. Termasuk meningkatkan target peningkatan penerimaan cukai menjadi di atas Rp 2 triliun karena realisasi tahun-tahun sebelumnya bisa mencapai Rp 4 triliun.

contoh rokok yang diekspor oleh produsen rokok Indonesia ke sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. (by. dmjp)
Instrumen selain harga, lanjutnya, melalui pelarangan iklan rokok karena memberi kesan dan informasi yang salah tentang produk rokok.  Selain itu, peringatan kesehatan seperti menaruh gambar dampak jika merokok di bungkus-bungkus rokok. Di samping itu, memberlakukan kawasan tanpa rokok.

Widyastuti menambahkan, saat ini produsen rokok dalam negeri sudah banyak mengekspor ke luar negeri, di antaranya ke Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Salah satu regulasi di tiga negara tersebut agar di bungkus rokok ditaruh gambar dampak jika merokok. Bukan hanya peringatan tertulis saja.

“Itu salah satu bentuk pendidikan yang tidak mahal karena bukan pemerintah yang membayar itu, tapi langsung oleh industri rokok. Tidak ada alasan bagi industri rokok domestik untuk melakukan itu di dalam negeri karena mereka sudah menerapkan untuk produk yang diekspor,” ungkap Widyastuti.

Menurutnya, jika hak asasi atas informasi tentang rokok bagi masyarakat di luar negeri sudah dihargai oleh industri rokok domestik maka hal sama seharusnya diterapkan di Indonesia. Itu sejumlah hal yang sedang diperjuangkan dalam RPP tentang pengendalian tembakau.

Saat ini, RPP tersebut masih dalam tahap pembahasan di tingkat antara departemen. Seharusnya RPP sudah selesai setahun setelah Undang-Undang tentang Kesehatan (nomor 36/2009) diterbitkan, yakni jatuh pada bulan Oktober 2010. Hingga saat ini, Indonesia juga belum menandatangani dan meratifikasi FCTC (Framework Convention in Tobacco Control). 
 


[keterangan: tulisan ini dibuat atas hasil konferensi pers Komisi Nasional Penanggulangan Tembakau di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (12/11/10)]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar