2.11.10

Tanah Air, Bukan Cuma Tanah

Kepala Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI Profesor Suharsono mengutarakan, hingga kini masih belum ada grand strategy pengelolaan kelautan di Indonesia. Selain itu, sudah harus mulai diubah mengenai pemikiran pembangunan di dalam negeri supaya berorientasi ke laut juga.

“Saat ini orientasi pemerintah masih ke darat, sudah harus diubah agar menghadap ke laut juga. Belum ada pencerahan untuk lebih mengarah ke kelautan, padahal ada banyak potensi yang bisa dikerjakan. Untuk itu perlu penyadaran bahwa laut harus dikelola dengan baik,” ungkap Suharsono.

Menurutnya, harus ada penyadaran di tingkat penentu dan pembuat kebijakan. Di samping itu, yang juga penting adalah political will (kemauan politik) karena akan berdampak juga ke alokasi penganggaran bagi pengelolaan kelautan.

Sehingga, diawali dengan adanya grand strategy pengelolaan kelautan yang jelas secara nasional. Setelah itu memperkuat kemauan politik, lalu meningkatkan di sisi alokasi anggaran, sumber daya manusia, dan unsur terkait lain untuk bisa mengerjakan atau menggali potensi kelautan lebih besar lagi.

“Diperlukan grand strategy pengelolaan dan kebijakan kelautan di Indonesia. Itu harus segera diselesaikan. Nanti juga akan dibuat turunannya secara detail, sehingga 18 sektor kelautan di dalam negeri bisa diterjemahkan dengan baik,” jelas Suharsono.

Kesejahteraan
Sementara itu diuraikan bahwa ada begitu banyak sumber kelautan yang dimiliki Indonesia, serta bisa berguna untuk kesejahteraan rakyat. Namun, yang harus diperhatikan bukan hanya kekayaan yang ada dan pengelolaannya, tapi juga faktor sumber daya manusia.

Misalnya, mengubah pemikiran nelayan dari sekedar memanen rumput laut menjadi penanam juga. Mengubah pemikiran seperti itu bukan hal mudah untuk dilakukan karena masyarakatnya belum terbiasa. Seharusnya, dengan sumber yang dimiliki maka Indonesia bisa lebih baik dari Filipina.

“Harus mempersiapkan mental para nelayan dan mengubah cara berpikirnya, contohnya untuk rumput laut yakni menanam dulu baru memanen. Karena masa tanam rumput laut hanya 40 hari dan lahannya pun masih banyak,” kata Suharsono.

Setelah itu, perlunya memberi nilai tambah terhadap produk kelautan dan perikanan yang dihasilkan. Misal, dengan membuat pabrik rumput laut sehingga Indonesia tidak hanya mengekspor secara mentah. Itu juga menjadi kunci agar harganya stabil.

Hal yang juga kini menjadi permasalahan karena harga di tingkat nelayan dan eksportir cukup jauh selisihnya. Selama ini di tingkat eksportir lah yang mendapatkan untung banyak. Dari situ juga perlu dibedakan antara nelayan besar dan kecil, harus ada pembagian segmen agar lebih jelas.

“Contohnya ikan napoleon yang banyak diekspor ke Hongkong. Harga di tingkat nelayan di kisaran Rp 50.000, tapi ketika dijual di luar negeri bisa mencapai Rp 1,5 juta,” tutur Suharsono.

Tapi, lanjut Suharsono, yang harus diketahui bahwa letak Indonesia di wilayah tropis berbeda dengan kondisi di subtropis, sehingga pengelolaannya pun berbeda. Jika di wilayah subtropis keanekaragamannya rendah, tapi volume per spesies tinggi, hal sebaliknya terjadi di wilayah tropis.

Di samping itu, ada cara lain untuk mengelola kelautan, yakni dengan menjadikan sebagai tempat pariwisata. Itu dilakukan jika ingin menjual potensi tanpa merusak lingkungan. Sebabnya, dunia juga memberi sorotan agar jangan melakukan penangkapan secara berlebihan yang dapat mengakibatkan kerusakan.

Namun, diungkapkan Suharsono, bahwa permasalahan kelautan yang dihadapi di dalam negeri cukup kompleks. Bukan hanya pengelolaan, tapi masyarakatnya juga harus disipakan. Oleh karena itu, perlu ditangani dengan benar.


[keterangan: tulisan ini dibuat untuk surat kabar tempat saya bekerja (SP), sebagai bagian dari tugas pada Selasa (2/11/10) - (wawancara dilakukan pada hari yang sama). ini adalah naskah asli tanpa diedit karena jika sudah diserahkan ke editor dapat dikurangi atau ditambah dengan hasil wawancara lain]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar